Lihatlah di luar sana, masih banyak
para jomblo (sebatang kara) yang belum pada ketemu jodohnya. Kalau pun ada yang
sudah tidak jomblo, itu karena mereka pacaran. Pacaran tentu tidak sama dengan
menikah, sebab pacaran hanya tipu muslihat dibuat sendiri oleh si pelakunya
seolah-olah mereka sudah menikah.
Menurut saya, pacaran adalah satu
bukti pelampiasan syahwat karena kurangnya rasa kasih sayang dari keluarga dan
orang sekitar saat mereka kecil dulu atau justeru saat mereka dewasa. Pacaran
tentu tidak sama dengan menikah, sebab menikah itu full barokah
sementara pacaran itu full maksiat. Mari kita urai masalah ini sedikit,
sebelum kembali ke ucapan teman saya tadi yang mengatakan dia menyesal menikah.
Pertama, orang yang pacaran, jika saling memandang satu sama
lain, itu adalah maksiat, tidak halal dan tercatat sebagai dosa di sisi Allah.
Artinya, si pelaku pacaran dengan sengaja sudah menabung satu dosa untuk diri
dan pasangan. Hebat bukan?
Bandingkan dengan mereka yang sudah
menikah. Saling memandang satu sama lain dengan pandangan mesra dan penuh cinta
justeru akan mengundang rahmat Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda, “Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan isterinya dan
isterinya memperhatikan suaminya, maka Allah memperhatikan mereka berdua dengan
perhatian penuh rahmat.” (Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar-Rafi’ dari
Abu Sa’id Al-Khudzri r.a.)
Ya Rabbi…betapa bersyukurnya bagi
ikhwan akhwat yang sudah menikah. Bayangkan, saling memperhatikan dan pandang
memandang di antara keduanya bisa mengundang datangnya rahmat Allah Ta’ala.
Inilah janji yang telah disampaikan oleh teladan terbaik sepanjang masa:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Lalu, siapakah yang tak iri melihat
pasangan suami isteri yang sudah halal saling pandang memandang? So, bagi Anda
yang lebih berani pacaran dari pada menikah, maka berfikirlah untuk segera
menghalalkan pacar Anda menjadi pacar yang halal.
Kedua, orang yang pacaran dan saling bergenggaman tangan
dengan pasangannya maka jelas hukumnya haram. Tidak ada satu perintah pun dalam
syariat Islam ini yang menghalalkan saling berpegangan tangan dengan lawan
jenis yang bukan muhrimnya. Jangankan berpegangan tangan, hanya sekedar
bersentuhan saja dengan lawan jenis hukumnya haram.
Perhatikan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini, “Kepala salah seorang dari kamu jika
ditusuk dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh
wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 20/210
dari Ma’qil bin Yasar, lihat Ash-Shahihah no. 226).
Lalu bagaimana dengan mereka yang
sudah menikah? Bergenggaman tangan bagi mereka yang sudah menikah akan
mengundang pahala dan ridha Allah Ta’ala. Dalam sebuah hadis, Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda, “…Manakala suaminya merengkuh telapak tangannya
(diremas-remas), maka berguguranlah dosa-dosa suami-isteri itu dari sela-sela
jari-jemarinya.” (Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar-Rafi’ dari Abu
Sa’id Al-Khudzri r.a.)
Jadi, mana yang lebih beruntung:
orang yang memilih untuk tetap pacaran dengan sejuta alasannya dalam kubangan
kemaksiatan itu. Atau, para lelaki dan wanita-wanita yang lurus imannya dan
menjadikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai satu-satunya idola dan
memutuskan untuk menikah?
Ketiga, muda mudi yang pacaran, tak jarang
mereka saling membelai pasangannya satu sama lain. Tujuannya agar
dibilang penuh perhatian, cinta atau sekedar menunjukkan kepedulian satu sama
lain. Apakah hal itu membuat Allah ridha dan senang? Tentu saja tidak. Allah
tak ridha melihat seorang pemuda membelai pemudi sementara keduanya belum
terikat hubungan yang sah (menikah).
Sebaliknya, seorang lelaki yang
sudah menikah dan membelai isterinya saat mereka sedang berdua-duaan, adalah
perbuatan halal dan diberkahi Allah Ta’ala. Perhatikan apa yang dilakukan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasalam. “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasalam biasa setiap
hari tidak melupakan untuk mengunjungi kami (para isterinya) seorang demi
seorang. Nabi menghampirinya dan membelainya, sekalipun tidak mencampurinya,
sehingga sampai ke tempat isteri yang tiba gilirannya, lalu bermalam di situ.”
(HR. Abu Dawud)
Jadi, pilih membelainya setelah ia
sah menjadi isteri, atau tetap membelainya padahal ia belum halal.
Keempat, orang yang sudah menikah, membantu
pekerjaan isterinya di rumah adalah sebuah kemuliaan bukan sebaliknya
merasa berat apalagi gengsi. Membantu meringankan pekerjaan rumah adalah sunnah
yang biasa dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Al-Aswad bin Yazid bertanya kepada
Aisyah, “Apa yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam
rumah?” Aisyah menjawab, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa
membantu pekerjaan isterinya. Bila tiba waktu shalat, Nabi pun keluar untuk
mengerjakan shalat.” (HR. Bukhari)
Begitulah, membantu meringankan
beban isteri di rumah akan mengundang pahala jika dikerjakan dengan ikhlas.
Sebaliknya, membantu mengerjakan tugas kuliah pacar boleh-boleh saja, tapi bisa
jadi motivasinya beda: supaya terlihat care (peduli) dan dibilang makin
cinta.
Kelima, orang pacaran, bercandanya
tak ada manfaat alias sia-sia, buang-buang waktu dan penuh kepura-puraan supaya
kemesraan semu itu terlihat. Lebih dari itu, sekali lagi Allah Ta’ala tak
pernah meridhai mencintai lawan jenis sebelum dibangun dalam bingkai pernikahan
yang sah.
Sebaliknya, setiap ikhwan akhwat
yang sudah menikah, maka bercandanya pun tak terhitung sia-sia. Artinya, dengan
candaan yang dilakukan seorang suami kepada isterinya, maka hal itu akan
melanggengkan rasa cinta yang terjalin antara keduanya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda, “Segala sesuatu yang dijadikan permainan oleh anak Adam adalah
bathil (sia-sia), kecuali tiga perkara, melepaskan panah dari busurnya, latihan
berkuda, dan senda gurau (mula’abah) bersama keluarganya, karena itu adalah hak
bagi mereka.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir , Silsilah As-Shahihah no.
309).
Saya jadi teringat lagi ungkapan
teman saya di atas yang mengatakan, “Saya menyesal sekali menikah!”
Dengan penasaran dan polos saya pun bertanya lagi, “Mengapa kamu menyesal
menikah?”
“Ya, bagaiman saya tidak menyesal,
kalau tahu nikmatnya menikah itu seperti yang saya rasakan sekarang ini, maka
seharusnya sudah dari dulu saya menikah,”
jawabnya sambil tertawa lebar. Mendengar jawaban teman saya itu, saya pun
tertawa karena merasa bersyukur bisa segera menikah tanpa harus mendahuluinya
dengan pacaran.(R02/P2)
Sumber : Mi’raj Islamic News Agency
(MINA)
Bgitu banyak muda mudi skrg yg pcran, brati sgitu bnyaknya para orang tua yg kurang memberi kasih sayang & cinta kpd anaknya...shingga mreka mengambil jlan dgn berpcran untuk mndpat kasih sayang...
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMaka dari itu, anak yang baik mencari kasih sayang dengan menikah. kalo yang sayang istri kan jadi lebih nikmat kang wahyu.. hehe
ReplyDelete