shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan gerakan tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya. Shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Shalat gerhana disunnahkan dilakukan secara berjamaah dan setelah shalat disunnahkan khutbah.
Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu; terang seperti sediakala, dan gerhana terjadi tatkala matahari terbenam.
Demikian pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu, terang seperti sediakala, dan saat terbit matahari.
عن عبد الله بن عباس أنه قال: خسفت الشمس عهد رسول الله صلى
الله عليه وسلم، فصلى رسول الله صلى الله عليه وسلم والناس معه، فقام قياما
طويلا نحوا من سورة البقرة، ثم ركع ركوعا طويلا، ثم رفع، فقام قياما
طويلا، وهو دون القيام الأول، ثم ركع ركوعا طويلا، وهو دون الركوع الأول،
ثم سجد، ثم قام، فقام قياما طويلا، وهو دون القيام الأول، ثم ركع ركوعا
طويلا، وهو دون الركوع الأول، ثم رفع، فقام قياما طويلا، وهو دون القيام
الأول، ثم ركع ركوعا طويلا، وهو دون الركوع الأول، ثم رفع، ثم سجد، ثم
أنصرف، وقد تجلت الشمس، فقال: (أن الشمس والقمر آيتان من آيات الله، لا
يخسفان لموت أحد ولا لحياته، فإذا رأيتم ذلك فاذكروا الله(.
Dari Abdullah bin Abbas berkata, “Terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah saw. Rasul saw. shalat bersama para sahabat. Beliau berdiri lama sekitar membaca surat Al-Baqarah, kemudian ruku’ lama, lalu berdiri lama tetapi lebih pendek dari pertama. Kemudian ruku lama tetapi lebih pendek dari pertama. Kemudian sujud, lalu berdiri lama tetapi lebih pendek dari yang pertama, kemudian ruku lama, tetapi lebih pendek dari yang pertama, kemudian mengangkat dan sujud, kemudian selesai. Matahari telah bersinar. Rasul bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi gerhana bukan karena kematian seseorang atau kelahiran seseorang, jika kalian melihatnya, hendaknya berdzikir pada Allah.” (HR Bukhari).
Ringkasnya, tata cara shalat gerhana -sama seperti shalat biasa dan bacaannya pun sama-, urutannya sebagai berikut.
[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.
[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
[5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
[6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
[8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
[11] Tasyahud.
[12] Salam.
[13] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1: 438)
Sumber ;http://mirajnews.com & rumaysho.com